Roller Coaster Ride of Melbourne Law School

Bulan Juli 2019 aku berangkat ke Melbourne dan mengikuti proses belajar disana. Yang pasti banyak ilmu baru yang aku peroleh dan tentunya piles of research papers yang harus kuhadapi untuk bisa lulus. Pengalaman belajar di luar negeri memang cukup berbeda dengan ambil S2 di dalam negeri, mulai dari segi research style, teaching method dan fasilitas yang disediakan. Di Melbourne Law School sendiri, ada banyak public lecture yang disediakan untuk mahasiswanya (secara gratis!). Dosen tamu yang dihadiri juga berasal dari berbagai negara, aku pernah menghadiri public lecture yang dosennya dari Israel. Selain itu, banyak profesor yang domisilinya bukan di Melboure. Kebetulan aku dapat dosen-dosen yang asalnya dari Geneva, Canterbury, Edinburgh, London, dan Hong Kong. 

Hal menarik lainnya dari sekolah hukum di Melbourne Law School ini adalah metode coursenya yang dilakukan secara intensive learning. Jadi satu mata kuliah dilakukan selama 5 hari atau 7 hari berturut-turut dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore. Mahasiswa dituntut untuk sudah membaca semua materi pelajaran sehingga saat proses intensive course nya mulai, mahasiswa bisa aktif berpartisipasi dan di akhir nya kita harus siap untuk memilih judul research paper atau take home essay sebanyak 6000-8000 words (each!). Aku pribadi pernah ambil semuanya. Dua research paper untuk subyek Law, Science and Technology dan International Law and Development (dua-duanya aku posting juga di blog ku). Dan sisanya adanya take home essay yang harus dianalisa selama 3 hari 2 malam. We called it 3 days in hell ! Sleepless night dannn encok !

Di sela-sela research paper dan perkuliahan, aku juga menyempatkan untuk liburan ke state lain. Aku cuman bisa ke Queensland dan New South Wales tapi semua itu cukup seru kok.

Pengalaman menarik lagi adalah satu semesterku aku habiskan lewat online teaching. It ain't easy guys, itu semua harus kita setting dari diri kita sendiri apakah kita mau belajar atau memang pengen ke luar negerinya aja. Kalau aku pribadi memang suka sama jurusannya dan walaupun sedih karena harus online, tapi tetap dijalani dengan baik. Jadi bermakna juga karena bisa menghabiskan satu semester lewat face-to-face study dan online study. Tapi sedihnya, aku ga bisa akses library. Hanya lewat e-library. Untungnya lagi (selalu ada untungnya ya :)) aku bisa dapat physical books lewat pemesanan online library. Fasilitasnya selalu fast respond. Hari Selasa pesan, besoknya langsung diantar. Secepat itu. Jadi aku bisa buat research paper dengan baik juga. Kuncinya adalah ga bersungut-sungut tapi selalu semangat mencari solusi. Tidak perlu sempurna tapi selalu lakukan yang terbaik dan semampunya. 

Akhirnya aku resmi lulus di bulan Desember 2020 via online graduation. Ga ada ceremony , hanya statement video dari Dean of Law School dan Unimelb Chancellor. Dan voila, Master of Public and International Law it is! Sounds simple? Sounds so, but what a journey had I been through. Full of roller coaster rides kayak yang aku mainin di Warner Bros studios Gold Coast. Lol:D Too little to tell. 

Graduation

Hopefully, this story can inspire you all in the middle of pandemics and whatever situation you face currently. 

Crowdfunding for N219 Aircraft Development , Why Not?

1 Billion rupiahs is a big amount of money and can be developed to start a new investment product. There is a national trend under Jokowi’s government to develop infrastructure, enhance the invention of renewable energy, and boosts digital business transformation through Artificial Intelligence (AI) and the Internet of Things (IoT). It has to be synergized in so many ways so that the purpose can be achieved overarchingly. 

Many middle-income people are willing to contribute to this development through investing directly. Similar to P2P lending, I initiate using my 1 B rupiahs to create online mutual investment funds or crowdfunding that provides a list of preferences towards various infrastructure development plans in Indonesia. It will not only benefit the investors but also expedite the development that is currently or will operate in Indonesia.  

Source: Humas PTDI

The collective development funds should be strictly supervised under financial authority in Indonesia, OJK. And it will be a great deal if the new product initiative can be conducted under cooperation with well-known partners such as BAPPENAS RI, ASEAN Secretariat, Asian Development Bank, and other development institutions to seek strategic development infrastructure that can invite middle-income investors easily with an environmentally friendly method.

For example, one of the ongoing projects is the development of N219 Turboprop aircraft that have the purpose to commute citizens in rural areas from one region to another with a low-cost budget. Based on online feeds, the enthusiasm of Indonesian citizens is surprisingly eager to have their own indigenous aircraft for a better purpose, however, they have limitations of contribution. In order to engage with middle-income investors, online development crowdfunding can be one of the financing schemes to support the development of the aircraft along with the infrastructure in the rural area. From this idea, it will not only reach the goal of the indigenous aircraft existence, but it also assists the improvement of the living standards of the people in the rural areas through faster and cheaper logistic supports, and also help to identify an appropriate regional business in rural areas. 

Source: Humas PT.DI

As Indonesia becomes an emerging country in Southeast Asia, it is important to take notice that middle earners can be a prospected crowdfunding market as low to middle budget investors. The target of investment should also engage with developing issues such as local content invention, water sanitation, internet accessibility in rural areas, acceleration of school infrastructure and system and etc. The advantage of this scheme also has a multiplier effect, one of them is to open up new job opportunities, investment literacy, technology enhancement, and another goodwill purpose to all across Indonesian territory. 

NB : this article and its concept is mine, however, as I browse on youtube, crowdfunding concept has been initiated (not yet entirely effective for aircraft development) as proposed by the late President B.J. Habibie himself. check --> https://www.youtube.com/watch?v=ecsd6B82228



 


Pengalaman kompleks LOLOS Beasiswa LPDP


 Hi folks!

Dalam tulisan ini, aku hanya ingin berbagi cerita pengalamanku belajar S2 di luar negeri dengan beasiswa LPDP. Tujuannya agar teman-teman bisa semangat dalam menunjang pendidikan yang lebih tinggi baik di dalam dan luar negeri. Kita (rakyat Indonesia khususnya muda mudi sekalian) patut bersyukur karena pemerintah Indonesia menyediakan platform penyandang dana pendidikan seperti Beasiswa Pendidikan Indonesia (reguler), beasiswa khusus putra/i Papua, jalur khusus dosen, spesialisasi kedokteran dan masih banyak lagi yang didukung oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Makanya kalau ga kita usahakan tuk diperoleh, sayang banget nih! Tapi inget ya, kalau kita sudah didanai oleh negara, jauh lebih baik kalau kita kembali ke tanah air dan bekerja untuk Indonesia. Begitulah prinsip dan etika yang aku terapkan (mungkin teman-teman yang lain bisa beda pendapat). 

Proses yang aku jalani untuk bisa lanjut sekolah S2 ke luar negeri memang tidak mudah, teman-teman. Cukup kompleks, banyak ketidakpastian, perubahan yang terus-menerus terjadi, dan lain-lain. Tapi aku masih bersyukur diberi jalan rumit seperti itu agar kesannya lebih bermakna dan pada akhirnya bisa lebih menghargai tiap proses yang dijalanin.

Pertama kali aku daftar beasiswa LPDP di tahun 2016, tapi aku gagal di tahap interview. Alasannya cukup logis dan aku menerimanya dengan lapang dada. Waktu itu daftar LPDP dengan menggunakan LoA (Letter of Acceptance) dari University Technology Sydney (UTS) jurusan Master of Engineering Management. Jadi jurusan yang aku daftar di LPDP adalah jalur teknik bukan hukum atau sospol lainnya. Cukup nekat sih, tapi itu semua karena background aku yang bekerja di PT Dirgantara Indonesia (singkatnya PTDI) yang relevansinya teknologi banget. Tapi karena pada saat interview aku ditanya-tanya tentang ilmu teknik yang spesifik, aku ragu menjawabnya. Ditambah lagi, aku bohong kalau aku sudah karyawan tetap di PTDI. Saat itu masih berstatus On the Job Trainee (jadi belum dapat rekomendasi dari atasan). Disitulah aku mulai meragukan proses interview saat itu. Jadi, jangan bohong ya teman-teman hehehe :) even white lies are strictly forbidden. 

Alhasil aku melanjutkan pekerjaanku di PTDI sebagai karyawan tetap sampai pada tahun 2017, aku berniat mendaftar kembali beasiswa LPDP dengan jurusan yang lebih suitable dengan bidang pekerjaan dan S1 ku dulu,yakni Hukum Internasional. Nah, untuk bisa tembus jurusan ini suatu proses yang tidak mudah juga. Alasannya latar belakangku bukan S1 hukum, melainkan sospol (Hubungan Internasional). Untungnya, aku punya pengalaman contract drafting dan legal review selama bekerja. Jadi, aku menulis pengalaman-pengalamanku di bidang tersebut ke dalam motivation letter ke beberapa universitas dan ke LPDP guna meyakinkan mereka bahwa aku mampu dan mau belajar lebih dalam mengenai hukum internasional di universitas tersebut. 

Tahap pertama LPDP yang aku ingat adalah mengisi formulir dan melengkapi dokumen-dokumen administrasi yang diminta sesuai terms & condition pada saat itu (2017). Di tahap pertama ini, LPDP meminta peserta untuk menuliskan tiga buah essay "sukses terbesar dalam hidupku", "kontribusiku bagi Indonesia", dan "rencana studi". Dua essay pertama lebih menceritakan pengalaman pekerjaan dan pribadi yang bertujuan untuk menunjang kepentingan sekolah nanti. Jadi lebih kepada latar belakang kita dalam berbagi bidang. Kalau aku pribadi, aku menulis pengalamanku selama bekerja di industri pertahanan sebagai staff di bidang non teknis / non-engineers. Aku menulis bahwa masih dibutuhkan analis-analis industri pertahanan yang berusaha memajukan kinerja perusahaan untuk memperkuat komponen pendukung maupun komponen utama pertahanan Indonesia. Poin utama dalam essay ini lebih pada perihal-perihal apa aja yang sudah kita lakukan melalui profesi ataupun interest kita masing-masing :) Tidak perlu yang besar-besar dan fantastis seperti menciptakan suatu robot atau menemukan obat, tapi dari hal-hal yang kecil kita lakukan untuk lingkungan sekitar juga bisa loh. 

Selang beberapa bulan, aku dapat pengumuman untuk lanjut ke tahap berikutnya yakni tahap psikometri. Psikometri bertujuan untuk mengetahui kejiwaan dan mentalitas seseorang. Ini tahapan yang baru pada saat itu sehingga aku dan teman-teman seperjuanganku masih menerka-nerka terkait tes yang satu ini. Tesnya dilakukan secara online jadi seingatku, aku melakukannya di tempat tidur dengan santai aja hehehe :)... tapi tetap serius yaa..Harus serius karena ternyata tahap ini yang paling banyak gugur juga. Banyak juga yang menyepelehkan tes ini karena sifatnya "kurang akademik" dan pernyataannya berulang-ulang.

Selang beberapa minggu kemudian, dapatlah pengumuman dari LPDP untuk mengikuti proses selanjutnya yaitu Essay on the spot, Leaderless Group Discussion dan The Interview. Ya, semuanya itu aku lewati lagi setelah 1,5 tahun  melakukan hal yang sama dengan bayang-bayang kegagalan. Tapi "pepatah gagal adalah suatu awal dari keberhasilan" memang benar. Kalau aku ga gagal dulu, mungkin aku ga tau celah-celahnya dan aku juga ga banyak belajar. So, it's okay to fail sometimes for a better result :) Untuk Essay, aku tulis dalam bahasa inggris karena tujuan universitasku ke luar negeri. Soal-soalnya menanyakan pendapat akademik pribadi tentang situasi nasional dan internasional. Untuk LGD, sarannya sih simple aja : berpendapat, beri kesempatan yang lain untuk berpendapat, and be humble aja. Kan ini leaderless, they don't expect an arrogant man to lead this nation, right? And for the interview, yang pasti kita harus konsisten menjawab dan menjelaskan apa yang sudah kita tulis dalam essay-essay yang kita submit di tahap pertama administrasi. Ini untuk memastikan juga kalau kita benar-benar menulis semua essay itu sendiri, bukan ditulis orang lain atau disuruh orang lain. Dalam interview, aku ditanyai soal alasan mengambil jurusan hukum di Universitas tersebut. Oh ya, sebenarnya, saat aku mendaftar LPDP ini, aku mengambil jurusan hukum teknologi di University of Edinburgh karena sangat spesifik kebutuhannya untuk menunjang profesi di PTDI. Jadi, aku jelaskan bahwa Indonesia masih jarang mempunyai ahli-ahli hukum yang memperhatikan kemajuan teknologi atau kepemilikan teknologi untuk industri pertahanan. Makanya mereka cukup tertarik untuk hal itu sehingga mereka consider aku (maybe yah, hehehe).

At last, beberapa bulan kemudian aku dapat pengumuman lolos tahap terakhir (finally yah). Aku senang banget dan langsung peluk mamaku yang lagi nyapu waktu itu hehehe. Ga mudah untuk aku mendapatkan beasiswa dengan jurusan hukum mengingat S1 ku non-hukum melainkan HI.

Namun, as usual, ada tantangan selanjutnya yaitu peraturan LPDP yang terbaru saat itu mewajibkan peserta lolos tahap terakhir yang mengumpulkan Conditional LoA untuk intake ditahun berikutnya, alias 2 tahun setelah pengumuman kelolosan LPDP. Yup, that I had to face it again. Sedih sih tapi aku jadi punya waktu untuk mencari kembali jurusan yang pas banget. Akhirnya, aku searching-searching, submit, tes ulang IELTS sambil mengikuti proses "Persiapan Keberangkatan" (PK itu wajib bagi awardee yang lolos tahap terakhir dan harus tanda tangan kontrak setelahnya). 

Nah, setelah proses cukup panjang untuk dapat universitas dan jurusan yang pas, akhirnya aku memutuskan untuk mengubah universitas semula dari University of Edinburgh jurusan Innovation, Technology and the Law ke University of Melbourne dengan jurusan Master of Public & International Law. Silabus di Melbourne sebenarnya lebih diverse dan aku bisa memilih sendiri subjek pelajarannya. Labih bagus lagi, ada pelajaran yang aku tertarik banget untuk diambil yakni berkaitan dengan Law & Science, artificial intelligence dan intellectual property rights.  Untuk proses pengajuan perubahan universitas dan jurusan juga ga simple. Aku harus meminta surat pendukung dari atasanku di kantor yang menyatakan jurusan tersebut lebih baik dari yang sebelumnya :') banyak hurdlesnya yah. At the end of the day, I got accepted both from LPDP and the University of Melbourne dengan jurusan Public & International Law. 

Untuk cerita pengalaman singkat sekolah S2 di University of Melbourne ada di blog berikutnya ya 😁




 

 

 

 

 





TNI MODERNISATION SHOULD ENCOMPASS AN EFFECTIVE OFFSET POLICY (Published for The Jakarta Post, September 16th 2021)

Since his appointment, Indonesian Minister of Defence, Prabowo Subianto, claimed that one of his most crucial priorities was to continue the...