Pengalaman kompleks LOLOS Beasiswa LPDP


 Hi folks!

Dalam tulisan ini, aku hanya ingin berbagi cerita pengalamanku belajar S2 di luar negeri dengan beasiswa LPDP. Tujuannya agar teman-teman bisa semangat dalam menunjang pendidikan yang lebih tinggi baik di dalam dan luar negeri. Kita (rakyat Indonesia khususnya muda mudi sekalian) patut bersyukur karena pemerintah Indonesia menyediakan platform penyandang dana pendidikan seperti Beasiswa Pendidikan Indonesia (reguler), beasiswa khusus putra/i Papua, jalur khusus dosen, spesialisasi kedokteran dan masih banyak lagi yang didukung oleh Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Makanya kalau ga kita usahakan tuk diperoleh, sayang banget nih! Tapi inget ya, kalau kita sudah didanai oleh negara, jauh lebih baik kalau kita kembali ke tanah air dan bekerja untuk Indonesia. Begitulah prinsip dan etika yang aku terapkan (mungkin teman-teman yang lain bisa beda pendapat). 

Proses yang aku jalani untuk bisa lanjut sekolah S2 ke luar negeri memang tidak mudah, teman-teman. Cukup kompleks, banyak ketidakpastian, perubahan yang terus-menerus terjadi, dan lain-lain. Tapi aku masih bersyukur diberi jalan rumit seperti itu agar kesannya lebih bermakna dan pada akhirnya bisa lebih menghargai tiap proses yang dijalanin.

Pertama kali aku daftar beasiswa LPDP di tahun 2016, tapi aku gagal di tahap interview. Alasannya cukup logis dan aku menerimanya dengan lapang dada. Waktu itu daftar LPDP dengan menggunakan LoA (Letter of Acceptance) dari University Technology Sydney (UTS) jurusan Master of Engineering Management. Jadi jurusan yang aku daftar di LPDP adalah jalur teknik bukan hukum atau sospol lainnya. Cukup nekat sih, tapi itu semua karena background aku yang bekerja di PT Dirgantara Indonesia (singkatnya PTDI) yang relevansinya teknologi banget. Tapi karena pada saat interview aku ditanya-tanya tentang ilmu teknik yang spesifik, aku ragu menjawabnya. Ditambah lagi, aku bohong kalau aku sudah karyawan tetap di PTDI. Saat itu masih berstatus On the Job Trainee (jadi belum dapat rekomendasi dari atasan). Disitulah aku mulai meragukan proses interview saat itu. Jadi, jangan bohong ya teman-teman hehehe :) even white lies are strictly forbidden. 

Alhasil aku melanjutkan pekerjaanku di PTDI sebagai karyawan tetap sampai pada tahun 2017, aku berniat mendaftar kembali beasiswa LPDP dengan jurusan yang lebih suitable dengan bidang pekerjaan dan S1 ku dulu,yakni Hukum Internasional. Nah, untuk bisa tembus jurusan ini suatu proses yang tidak mudah juga. Alasannya latar belakangku bukan S1 hukum, melainkan sospol (Hubungan Internasional). Untungnya, aku punya pengalaman contract drafting dan legal review selama bekerja. Jadi, aku menulis pengalaman-pengalamanku di bidang tersebut ke dalam motivation letter ke beberapa universitas dan ke LPDP guna meyakinkan mereka bahwa aku mampu dan mau belajar lebih dalam mengenai hukum internasional di universitas tersebut. 

Tahap pertama LPDP yang aku ingat adalah mengisi formulir dan melengkapi dokumen-dokumen administrasi yang diminta sesuai terms & condition pada saat itu (2017). Di tahap pertama ini, LPDP meminta peserta untuk menuliskan tiga buah essay "sukses terbesar dalam hidupku", "kontribusiku bagi Indonesia", dan "rencana studi". Dua essay pertama lebih menceritakan pengalaman pekerjaan dan pribadi yang bertujuan untuk menunjang kepentingan sekolah nanti. Jadi lebih kepada latar belakang kita dalam berbagi bidang. Kalau aku pribadi, aku menulis pengalamanku selama bekerja di industri pertahanan sebagai staff di bidang non teknis / non-engineers. Aku menulis bahwa masih dibutuhkan analis-analis industri pertahanan yang berusaha memajukan kinerja perusahaan untuk memperkuat komponen pendukung maupun komponen utama pertahanan Indonesia. Poin utama dalam essay ini lebih pada perihal-perihal apa aja yang sudah kita lakukan melalui profesi ataupun interest kita masing-masing :) Tidak perlu yang besar-besar dan fantastis seperti menciptakan suatu robot atau menemukan obat, tapi dari hal-hal yang kecil kita lakukan untuk lingkungan sekitar juga bisa loh. 

Selang beberapa bulan, aku dapat pengumuman untuk lanjut ke tahap berikutnya yakni tahap psikometri. Psikometri bertujuan untuk mengetahui kejiwaan dan mentalitas seseorang. Ini tahapan yang baru pada saat itu sehingga aku dan teman-teman seperjuanganku masih menerka-nerka terkait tes yang satu ini. Tesnya dilakukan secara online jadi seingatku, aku melakukannya di tempat tidur dengan santai aja hehehe :)... tapi tetap serius yaa..Harus serius karena ternyata tahap ini yang paling banyak gugur juga. Banyak juga yang menyepelehkan tes ini karena sifatnya "kurang akademik" dan pernyataannya berulang-ulang.

Selang beberapa minggu kemudian, dapatlah pengumuman dari LPDP untuk mengikuti proses selanjutnya yaitu Essay on the spot, Leaderless Group Discussion dan The Interview. Ya, semuanya itu aku lewati lagi setelah 1,5 tahun  melakukan hal yang sama dengan bayang-bayang kegagalan. Tapi "pepatah gagal adalah suatu awal dari keberhasilan" memang benar. Kalau aku ga gagal dulu, mungkin aku ga tau celah-celahnya dan aku juga ga banyak belajar. So, it's okay to fail sometimes for a better result :) Untuk Essay, aku tulis dalam bahasa inggris karena tujuan universitasku ke luar negeri. Soal-soalnya menanyakan pendapat akademik pribadi tentang situasi nasional dan internasional. Untuk LGD, sarannya sih simple aja : berpendapat, beri kesempatan yang lain untuk berpendapat, and be humble aja. Kan ini leaderless, they don't expect an arrogant man to lead this nation, right? And for the interview, yang pasti kita harus konsisten menjawab dan menjelaskan apa yang sudah kita tulis dalam essay-essay yang kita submit di tahap pertama administrasi. Ini untuk memastikan juga kalau kita benar-benar menulis semua essay itu sendiri, bukan ditulis orang lain atau disuruh orang lain. Dalam interview, aku ditanyai soal alasan mengambil jurusan hukum di Universitas tersebut. Oh ya, sebenarnya, saat aku mendaftar LPDP ini, aku mengambil jurusan hukum teknologi di University of Edinburgh karena sangat spesifik kebutuhannya untuk menunjang profesi di PTDI. Jadi, aku jelaskan bahwa Indonesia masih jarang mempunyai ahli-ahli hukum yang memperhatikan kemajuan teknologi atau kepemilikan teknologi untuk industri pertahanan. Makanya mereka cukup tertarik untuk hal itu sehingga mereka consider aku (maybe yah, hehehe).

At last, beberapa bulan kemudian aku dapat pengumuman lolos tahap terakhir (finally yah). Aku senang banget dan langsung peluk mamaku yang lagi nyapu waktu itu hehehe. Ga mudah untuk aku mendapatkan beasiswa dengan jurusan hukum mengingat S1 ku non-hukum melainkan HI.

Namun, as usual, ada tantangan selanjutnya yaitu peraturan LPDP yang terbaru saat itu mewajibkan peserta lolos tahap terakhir yang mengumpulkan Conditional LoA untuk intake ditahun berikutnya, alias 2 tahun setelah pengumuman kelolosan LPDP. Yup, that I had to face it again. Sedih sih tapi aku jadi punya waktu untuk mencari kembali jurusan yang pas banget. Akhirnya, aku searching-searching, submit, tes ulang IELTS sambil mengikuti proses "Persiapan Keberangkatan" (PK itu wajib bagi awardee yang lolos tahap terakhir dan harus tanda tangan kontrak setelahnya). 

Nah, setelah proses cukup panjang untuk dapat universitas dan jurusan yang pas, akhirnya aku memutuskan untuk mengubah universitas semula dari University of Edinburgh jurusan Innovation, Technology and the Law ke University of Melbourne dengan jurusan Master of Public & International Law. Silabus di Melbourne sebenarnya lebih diverse dan aku bisa memilih sendiri subjek pelajarannya. Labih bagus lagi, ada pelajaran yang aku tertarik banget untuk diambil yakni berkaitan dengan Law & Science, artificial intelligence dan intellectual property rights.  Untuk proses pengajuan perubahan universitas dan jurusan juga ga simple. Aku harus meminta surat pendukung dari atasanku di kantor yang menyatakan jurusan tersebut lebih baik dari yang sebelumnya :') banyak hurdlesnya yah. At the end of the day, I got accepted both from LPDP and the University of Melbourne dengan jurusan Public & International Law. 

Untuk cerita pengalaman singkat sekolah S2 di University of Melbourne ada di blog berikutnya ya 😁




 

 

 

 

 





TNI MODERNISATION SHOULD ENCOMPASS AN EFFECTIVE OFFSET POLICY (Published for The Jakarta Post, September 16th 2021)

Since his appointment, Indonesian Minister of Defence, Prabowo Subianto, claimed that one of his most crucial priorities was to continue the...