Anak muda 2015: Masih jaman ngeremehin potensi sendiri? Industri strategis butuh otak muda!

Anak muda 2015: Masih jaman ngeremehin potensi sendiri? 
Industri strategis butuh otak muda!

by Cynthia Sipahutar


Anak muda biasanya antipati dan cenderung bersifat pasif jika harus dihadapi tentang diskusi nasionalis, apalagi mengenai perkembangan potensi bangsa sendiri. Pernahkah kamu ketika di kuliah berada dalam sebuah lingkaran diskusi mengenai potensi tiap-tiap bangsa yang ada di dunia? Pastinya pernah dong. Jangan kaget ketika seorang dosen atau pembicara menanyakan dan membandingkan kemampuan Indonesia dengan negara-negara asing seperti Singapura, Malaysia, India, Jerman, Korea Selatan, Jepang, dan terutama Amerika Serikat. Jawaban yang kerap dilontarkan oleh pemuda pemudi kita berbeda dengan jawaban yang dilontarkan oleh pemuda pemudi di Korea Selatan. Pemuda Indonesia dengan tangkas menjawab "KITA PAYAH!" atau "Ah, mana mungkin Indonesia bisa kayak gitu? Hopeless dah pokoknya"! Berbeda jika kita mengikuti seminar Universitas di Jepang atau Korea Selatan. Justru pemuda mereka dengan menggebu-gebu menyuarakan kebanggaannya atas kemampuan yang mereka miliki sebagai sebuah entitas kesatuan berbangsa dan bernegara. Ironis melihat kenyataan yang masih menyelimuti spirit berbangsa di kalangan pemuda Indonesia. Namun, tidak semua pemuda seperti itu karena pastinya ada beberapa yang masih semangat dalam memajukan Indonesia ke arah yang lebih cerah. Buktinya, dengan beasiswa-beasiswa yang diberikan pemerintah mengharapkan agar penerima beasiswa tersebut tidak datang kembali Indonesia dengan membawa harapan hampa untuk Indonesia. Fokus utama dari tulisan ini adalah kontribusi otak-otak muda bangsa di sektor industri strategis Indonesia dan mengapa mereka (pemuda) kerap meremehkan industri yang kerap terlibat dalam sektor pertahanan?

Fenomena yang menimpa pemuda Indonesia di jaman sekarang sangatlah naif. Banyak lulusan IPB yang katanya Institut  Pertanian Bogor berubah haluan menjadi Insinyur Pegawai Bank ketika sudah lulus. Padahal, tidak sedikit yang memperoleh predikat cum laude  atau Indeks Prestasi di atas 3 koma. Alasannya sih karena tidak ada lapangan pekerjaan yang menyediakan gelar yang mereka peroleh. Apakah ini hanya sebuah alasan atau kebenaran, itu adalah pilihan kalian. Yang pastinya, perusahaan di bidang pertanian, agroteknik, agraria dan semacamnya masih kekurangan sumber daya manusia. Apakah ini sebuah kebenaran? Ya, ini adalah sebuah fakta. Jadi bisa kita simpulkan bahwa lulusan-lulusan tersebut hanya ngeles  dan malas mencari pekerjaan yang dapat memajukan potensi bangsanya di bidang pertanian. Oke, cukup dengan IPB dan pertanian dan kembali ke judul atas yaitu otak pemuda dan industri strategis. 

Paragraf di atas hanyalah sebuah ilustrasi mengenai berbagai alasan dan kebiasaan yang dimiliki oleh pemuda Indonesia. Pada dasarnya, semua itu didasarkan atas kurangnya rasa keinginan untuk memajukan potensi bangsa sehingga pemikiran semacam itu turun temurun menjadi sebuah kebiasaan atau lebih ngerinya lagi, sebuah kebudayaan. Begitu pula yang dialami dengan keberadaan industri strategis di Indonesia. Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki fondasi yang cukup dalam eksistensi dan kemampuan di sektor industri strategis di bandingkan negara-negara pada umumnya. Indonesia memiliki PT. Pindad yang memproduksi teknologi persenjataannya; PT Dirgantara Indonesia dengan kemampuan produksi pesawat terbangnya (sedikit sekali negara yang memiliki industri di sektor dirgantara); PT PAL dengan produksi kapal komersil, kapal selam, dan kapal siluman terbarunya (stealth) yang menjadi kebanggaan TNI Angkatan Laut; serta PT LEN dengan produksi pendeteksi radar, electronic defense, railways, telekomunikasi dan sebagainya. Keberadaan industri-industri strategis ini kerap dipertanyakan oleh masyarakat pada umumnya. Tidak hanya anak muda, namun yang tua pun juga ikut-ikutan. Tidak heran, karena sejarah kelam pernah menimpa beberapa dari industri strategis ini, sebut saja yang paling disorot habis-habisan adalah PT Dirgantara Indonesia.

KRI Klewang 625 (kapal AL yang sulit dideteksi radarnya oleh musuh)
 dengan kekuatan Stealth (siluman)

PT DI (singkatan dari PT Dirgantara Indonesia) memiliki masa keemasan di bawah direksi dan pimpinan pendirinya yaitu Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie, seorang jenius di bidang aeronautica namun kontroversial saat menjadi orang nomor 1 di Indonesia. Dengan pesawat bernomor N250 yang disebut dengan Gatotkaca, Indonesia disorot oleh media asing dan perusahaan sekaliber Airbus dan Boeing. Perlu diketahui bahwa bisnis pesawat terbang adalah bisnis yang paling mematikan dan sangat risky melebihi bisnis manapun di dunia. Persaingannya sangatlah kompetitif dan ketat. Tidak heran b ketika Indonesia terkena giliran krisis moneter 1998, International Monetary Fund (IMF) secara tidak langsung menunjuk PT DI sebagai perusahaan yang dianjurkan agar dihentikan proses produksinya karena menelan anggaran pemerintah yang sangat banyak. Sehingga keberlanjutan N250 yang hanya tinggal sejengkal jari menuju produksi massal dan sertifikasinya harus menelan pil pahit. Tidak hanya itu, banyak insinyur-insinyur jenius PT DI yang hijrah ke negara asing untuk melanjutkan potensi mereka dibidang aeronautika.
N-250 yang dibanggakan Indonesia 

N-219 yang kembali dibanggakan Indonesia dan segera mengudara


Kejadian di atas memang sangat menyedihkan dan kelam, namun sekarang kita berada di tahun 2015, dimana 13 tahun sudah melewati masa-masa ironis yang dibuat oleh pihak asing tersebut. PT DI telah bangkit kembali secara bertahap dengan fokus utamanya memproduksi pesawat maritim/perintis untuk mancanegara. Apakah banyak yang mengetahui bahwa industri ini sedang dalam tahap-tahap untuk mengembalikan kejayaannya? Tentu jawabannya jelas tidak. Hal ini dikarenakan tertutupnya pemikiran masyarakat khususnya yang masih muda untuk menyadari kemampuan yang dimiliki bangsa sendiri. Seiring dengan tsunami investor asing ke Indonesia, pemuda kita lebih memilih untuk bekerja di perusahaan swasta asing dan melupakan keberadaan industri strategis di bumi pertiwi yang seharusnya dilanjutkan oleh kita yang masih memiliki jiwa dan otak muda ini. Seperti yang dikemukakan dalam paragraf sebelumnya, apabila kenyataan ini terus dibiarkan oleh pemuda Indonesia dan generasi penerus lainnya lama-kelamaan akan menjadi kebudayaan. 

Ketika saya hendak menulis tulisan ini, yang ada dalam pemikiran saya adalah hujatan dan caci maki dari pemuda yang modernis dan menyatakan dirinya civilized. Tentunya mereka akan berfikir tulisan dibuat oleh orang yang sok pahlawan, nasionalis dan sok baik. Yaaa,,,itulah kebiasaan yang sudah membudidaya di kalangan anak-anak Indonesia. Apakah ini baik? Simpan saja dalam pikiran kalian sambil melihat keadaan Indonesia sekarang dan yang akan datang. 

Oke, balik lagi ke industri strategis yang dimiliki Indonesia. Saya selalu menekankan pilihan kata "dimiliki Indonesia" ketimbang "di Indonesia"karena kita harus berbangga memiliki industri semacam itu di bumi pertiwi ini. Ada suatu artikel dari satu media elektronik yang memberitakan penggunaan pesawat buatan Indonesia oleh beberapa Kepala Negara negara asing. Lalu di akhir dari artikel tersebut menlontarkan pertanyaan sederhana yakni "lantas, bagaimana dengan Indonesia?". Tapi semua itu urusan pemerintah dan Kepala Negara kita, antara mendukung penggunaan produksi dalam negeri dan mengurangi barang impor seperti yang digembor-gemborkan dalam tiap pidatonya. Sebagai pemimpin, setiap perbuatan yang dieksekusi akan berimbas ke masyarakat sebagai suatu sistem organisasi. Semoga saja di kemudia hari Presiden Indonesia ada yang menggantikan Air Force One merk Boeing dengan Pesawat buatan sendiri yang lebih pantas dengan kondisi geografis Indonesia (khususnya bila hendak bepergian dalam negeri). 

Jadi, tulisan ini bukan sebagai penyita perhatian masyarakat atau muda mudi sekalian, tapi sekedar sebagai buah pikiran yang tidak bisa didiamkan dalam pikiran saya. Melihat kejayaan PT Pindad di bawah pimpinan Silmy Karim yang saat ini sedang meraih keemasannya dan publikasinya yang begitu apik di mata media dan masyarakat, mendorong saya untuk mengajak kalian-kalian yang masih punya keinginan untuk memajukan bangsa di sketor industri strategis (kalau yang ga punya ya terserah kalian). Secara psikologis, banyak yang masih memendam pikiran skeptis dan malu untuk mengkontribusikan otaknya di industri ini dengan berbagai alasan (selain alasan yang disebut dalam paragraf sebelumnya e.g. sejarah kelam). Sebut saja PRIDE, PRESTIGE, dan KEKAYAAN. Menurut saya, masih jamankah kita sebagai penerus bangsa mengedepankan tiga hal itu? Ujung-ujungnya jadi tukang korupsi kok (ga jamin juga ya, tapi mostly seperti itu). Coba saja ditarik logikanya bila kita menggabungkan tiga kata diatas pasti sama dengan  (=) KORUPSI. Tapi bila kita memiliki motivasi untuk memajukan terus industri yang sedang mengembalikan keemasannya di Indonesia ini demi kepentingan strategis dan kepentingan nasional Indonesia, maka semua tiga kata itu akan datang dengan sendirinya. Ayo coba kita praktekkan!




Salam Pancasila dan Labapaca (Buku Pesta Cinta)

(the essay above are writers' own expressions, no plagiarism!)




ASEAN Community 2025: Moving forward to obtain an Integrated Economical Region by : Cynthia Sipahutar


ASEAN integration is once again being challenged due to its preparedness in achieving the goals of ASEAN Community 2015. Elite sectors of each member-states are dealing with several of challenges to attain the next year’ program and begin to reaffirm and rebuild the clauses from each pillars for the upcoming plan by post 2015 until year 2025. International community started to realize and become fully aware of the emerging market that have grown in the Southeast Asia region. Economic sector and its developing market have grown in a larger scale and its role become significantly important for the global market resilience. Since ASEAN established in 6 August 1967 with the birth of Bangkok Declaration, this regional association promised to build a united and integrated region where single market approach and non-tariff barrier will be compromise among the AMCs (ASEAN Member Countries) for long-term implementation. ASEAN Economic Community 2015 was formed in order to boost and embrace economic stability and prosperity among ASEAN citizens.

The ASEAN Economic Community blueprint stated four (4) strategic and specified actions in order to wide-spreading the achievement to each of the AMCs economic aspects, namely (i) Single Market and Production Base; (ii) Competitive Economic Region; (iii) Equitable Economic Development; and (iv) Integration into the Global Economy. Obstacles and challenges that ASEAN fear the most are the application and compliance among national department in each state. ASEAN countries obviously consist of variety and diversify backgrounds when it comes to economic sector. Singapore, Malaysia, and Brunei are the three countries that developed well enough compare to other AMCs in the region and should easily adapt with the ongoing growth towards ASEAN Economic Community. However, the stumbling blocks begins when reaching the points of realizing financial services liberalization, capital account liberalization, capital market developments, and payment settlement systems within AMCs’ national financial and market system. The fact where ASEAN also consist of under-developing and developing countries such as the LCMV countries and Indonesia, Thailand, and the Philippines is the most basic argument and reason ASEAN should rebuild and re-plan a detailed proposal without eliminating essences of AEC 2015 final purposes.

In forming economic sustainable development within ASEAN circular and as well as defending the resilience of global market, AMCs leaders envision to create schedules and programs to support the continuance of AEC blueprint without depleting the fundamental essence of its purposes and goals. To develop the AEC’s post-2015 vision in which it scheduled by the end of 2025, AEC bring a 10-year framework consist of five interconnected and mutually based on the 2008 created AEC blueprint into existence. The five proposed pillars and elements of AEC 20125 are: (a) An Integrated and Highly Cohesive Economy; (b) Competitive, Innovative and Dynamic ASEAN; (c) Resilient, Inclusive, People-Oriented and People-Centered ASEAN; (d) Enhanced Sectorial Integration and Cooperation; and (e) Global ASEAN.

It has been awarded that ASEAN integration on trade related movement into a single-market community and implementation of non-trade barriers nearly accomplished and shifting into a new whole level of integration. Nevertheless, several of points in this pillar are necessary to be re-affirmed and re-focus back again to complete the challenging agenda within the post-2015 proposal program. Some of the key elements that urgently required to finished are: financial services liberalization and capital market development and integration, financial inclusion, and taxation issues.

As one of the key actor in administering the financial liberalization and either developing or integrating capital account market in the region, Bank Indonesia (Indonesia’s central bank) has the mandate to supervise consumer-banking service and insurance services both in city and district area. AMCs including Indonesia’s banking system services must bear into its mind that by improvising and strengthening each of the national bank in the country is a priority to build a cohesive competition in the region. By doing so, countries with indifference capability are without any doubt able to increase developing conditions in financial liberalization and capital account market without being anxious about economic gap and competency diversity within the AMCs circle.

Thus, the priorities for financial services and integration post-2015 will be including the financial stability infrastructure by emending regulations among AMCs, supporting capacity building and technical assistance especially for the developing, under-developing countries and as well as newer member states (e.g. Timor Leste issued to join), financial inclusion and literacy initiatives to enlarge amount of capable investors and its issuer base that have not been touched by economic dispute settlement in ASEAN, intensifying macroeconomic surveillance within ASEAN and ASEAN+3 relations and holding an intensive and educational studies related to form economic integration in regional area with an additional information for countries who need special preparedness in order to eliminate cultural shock and economic instability due to the financial liberalization.

The principle of non-trade barriers including the application of minimum tariffs is indeed an urgent discussion among member states in ASEAN. The clause from the previous 2015 blueprint demanded the completion of bilateral agreement to avoid such double taxation tariffs that might occur among AMCS. The proposed program for post-2015 should be re-negotiating more further to produces a cohesive, legally binding and shows greater technical commonality on tariffs treaties. In addition, AMCs is highly advised to treat every ASEAN member states (including newer member or under-developing member states) with the absence of discriminatory behavior.

Due to the evolving of time and a constant change of financial environment in ASEAN, providing high-access of formal financial system to support the creation of impartial economic advancement is being put forward for consideration in the 2025 program. Within this program, local government with the support from its specified department is required to make adequate facilitation such as education transfer on financial knowledge and information (e.g. the importance of savings and its benefits). Since financial inclusion have never been discussed further in the AEC 2015 blueprint and by fulfilling the elimination of economic gap among the regional countries, the ASEAN Finance Ministers endorsed a conference held specifically to discuss intensely about the realization of financial inclusion and financial literacy among ASEAN countries. With the ongoing process of negotiation and talks, ASEAN countries, such as Myanmar and Viet Nam, demonstrate its best performance on economic sector (with growth of 7.8% and predicted to continue next year). It happened simultaneously with the implementation of free-flow market by the two countries where investors are become more likely to investing its stock market.

The global market community such as the European Union (one of the largest and oldest regional organization in the world) appreciates outstanding performance by ASEAN countries in attaining its developing economic integration and consolidation whereas EU itself started to decline caused by its political turbulence in East Europe and financial debt crises in Greece and Spain. Without any doubt, ASEAN could turn out into the next key player for defending the global market resilience and main partner/negotiator in most of international economic forums. Long story short, with the firm grip of ASEAN Charter and its pillars (ASEAN Economic Community blueprint, particularly for economic aspect) ASEAN member states are inevitably to achieve its longing aspiration, the actual ASEAN Community. 

TNI MODERNISATION SHOULD ENCOMPASS AN EFFECTIVE OFFSET POLICY (Published for The Jakarta Post, September 16th 2021)

Since his appointment, Indonesian Minister of Defence, Prabowo Subianto, claimed that one of his most crucial priorities was to continue the...