Anak muda 2015: Masih jaman ngeremehin potensi sendiri? Industri strategis butuh otak muda!

Anak muda 2015: Masih jaman ngeremehin potensi sendiri? 
Industri strategis butuh otak muda!

by Cynthia Sipahutar


Anak muda biasanya antipati dan cenderung bersifat pasif jika harus dihadapi tentang diskusi nasionalis, apalagi mengenai perkembangan potensi bangsa sendiri. Pernahkah kamu ketika di kuliah berada dalam sebuah lingkaran diskusi mengenai potensi tiap-tiap bangsa yang ada di dunia? Pastinya pernah dong. Jangan kaget ketika seorang dosen atau pembicara menanyakan dan membandingkan kemampuan Indonesia dengan negara-negara asing seperti Singapura, Malaysia, India, Jerman, Korea Selatan, Jepang, dan terutama Amerika Serikat. Jawaban yang kerap dilontarkan oleh pemuda pemudi kita berbeda dengan jawaban yang dilontarkan oleh pemuda pemudi di Korea Selatan. Pemuda Indonesia dengan tangkas menjawab "KITA PAYAH!" atau "Ah, mana mungkin Indonesia bisa kayak gitu? Hopeless dah pokoknya"! Berbeda jika kita mengikuti seminar Universitas di Jepang atau Korea Selatan. Justru pemuda mereka dengan menggebu-gebu menyuarakan kebanggaannya atas kemampuan yang mereka miliki sebagai sebuah entitas kesatuan berbangsa dan bernegara. Ironis melihat kenyataan yang masih menyelimuti spirit berbangsa di kalangan pemuda Indonesia. Namun, tidak semua pemuda seperti itu karena pastinya ada beberapa yang masih semangat dalam memajukan Indonesia ke arah yang lebih cerah. Buktinya, dengan beasiswa-beasiswa yang diberikan pemerintah mengharapkan agar penerima beasiswa tersebut tidak datang kembali Indonesia dengan membawa harapan hampa untuk Indonesia. Fokus utama dari tulisan ini adalah kontribusi otak-otak muda bangsa di sektor industri strategis Indonesia dan mengapa mereka (pemuda) kerap meremehkan industri yang kerap terlibat dalam sektor pertahanan?

Fenomena yang menimpa pemuda Indonesia di jaman sekarang sangatlah naif. Banyak lulusan IPB yang katanya Institut  Pertanian Bogor berubah haluan menjadi Insinyur Pegawai Bank ketika sudah lulus. Padahal, tidak sedikit yang memperoleh predikat cum laude  atau Indeks Prestasi di atas 3 koma. Alasannya sih karena tidak ada lapangan pekerjaan yang menyediakan gelar yang mereka peroleh. Apakah ini hanya sebuah alasan atau kebenaran, itu adalah pilihan kalian. Yang pastinya, perusahaan di bidang pertanian, agroteknik, agraria dan semacamnya masih kekurangan sumber daya manusia. Apakah ini sebuah kebenaran? Ya, ini adalah sebuah fakta. Jadi bisa kita simpulkan bahwa lulusan-lulusan tersebut hanya ngeles  dan malas mencari pekerjaan yang dapat memajukan potensi bangsanya di bidang pertanian. Oke, cukup dengan IPB dan pertanian dan kembali ke judul atas yaitu otak pemuda dan industri strategis. 

Paragraf di atas hanyalah sebuah ilustrasi mengenai berbagai alasan dan kebiasaan yang dimiliki oleh pemuda Indonesia. Pada dasarnya, semua itu didasarkan atas kurangnya rasa keinginan untuk memajukan potensi bangsa sehingga pemikiran semacam itu turun temurun menjadi sebuah kebiasaan atau lebih ngerinya lagi, sebuah kebudayaan. Begitu pula yang dialami dengan keberadaan industri strategis di Indonesia. Sebenarnya, Indonesia sudah memiliki fondasi yang cukup dalam eksistensi dan kemampuan di sektor industri strategis di bandingkan negara-negara pada umumnya. Indonesia memiliki PT. Pindad yang memproduksi teknologi persenjataannya; PT Dirgantara Indonesia dengan kemampuan produksi pesawat terbangnya (sedikit sekali negara yang memiliki industri di sektor dirgantara); PT PAL dengan produksi kapal komersil, kapal selam, dan kapal siluman terbarunya (stealth) yang menjadi kebanggaan TNI Angkatan Laut; serta PT LEN dengan produksi pendeteksi radar, electronic defense, railways, telekomunikasi dan sebagainya. Keberadaan industri-industri strategis ini kerap dipertanyakan oleh masyarakat pada umumnya. Tidak hanya anak muda, namun yang tua pun juga ikut-ikutan. Tidak heran, karena sejarah kelam pernah menimpa beberapa dari industri strategis ini, sebut saja yang paling disorot habis-habisan adalah PT Dirgantara Indonesia.

KRI Klewang 625 (kapal AL yang sulit dideteksi radarnya oleh musuh)
 dengan kekuatan Stealth (siluman)

PT DI (singkatan dari PT Dirgantara Indonesia) memiliki masa keemasan di bawah direksi dan pimpinan pendirinya yaitu Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie, seorang jenius di bidang aeronautica namun kontroversial saat menjadi orang nomor 1 di Indonesia. Dengan pesawat bernomor N250 yang disebut dengan Gatotkaca, Indonesia disorot oleh media asing dan perusahaan sekaliber Airbus dan Boeing. Perlu diketahui bahwa bisnis pesawat terbang adalah bisnis yang paling mematikan dan sangat risky melebihi bisnis manapun di dunia. Persaingannya sangatlah kompetitif dan ketat. Tidak heran b ketika Indonesia terkena giliran krisis moneter 1998, International Monetary Fund (IMF) secara tidak langsung menunjuk PT DI sebagai perusahaan yang dianjurkan agar dihentikan proses produksinya karena menelan anggaran pemerintah yang sangat banyak. Sehingga keberlanjutan N250 yang hanya tinggal sejengkal jari menuju produksi massal dan sertifikasinya harus menelan pil pahit. Tidak hanya itu, banyak insinyur-insinyur jenius PT DI yang hijrah ke negara asing untuk melanjutkan potensi mereka dibidang aeronautika.
N-250 yang dibanggakan Indonesia 

N-219 yang kembali dibanggakan Indonesia dan segera mengudara


Kejadian di atas memang sangat menyedihkan dan kelam, namun sekarang kita berada di tahun 2015, dimana 13 tahun sudah melewati masa-masa ironis yang dibuat oleh pihak asing tersebut. PT DI telah bangkit kembali secara bertahap dengan fokus utamanya memproduksi pesawat maritim/perintis untuk mancanegara. Apakah banyak yang mengetahui bahwa industri ini sedang dalam tahap-tahap untuk mengembalikan kejayaannya? Tentu jawabannya jelas tidak. Hal ini dikarenakan tertutupnya pemikiran masyarakat khususnya yang masih muda untuk menyadari kemampuan yang dimiliki bangsa sendiri. Seiring dengan tsunami investor asing ke Indonesia, pemuda kita lebih memilih untuk bekerja di perusahaan swasta asing dan melupakan keberadaan industri strategis di bumi pertiwi yang seharusnya dilanjutkan oleh kita yang masih memiliki jiwa dan otak muda ini. Seperti yang dikemukakan dalam paragraf sebelumnya, apabila kenyataan ini terus dibiarkan oleh pemuda Indonesia dan generasi penerus lainnya lama-kelamaan akan menjadi kebudayaan. 

Ketika saya hendak menulis tulisan ini, yang ada dalam pemikiran saya adalah hujatan dan caci maki dari pemuda yang modernis dan menyatakan dirinya civilized. Tentunya mereka akan berfikir tulisan dibuat oleh orang yang sok pahlawan, nasionalis dan sok baik. Yaaa,,,itulah kebiasaan yang sudah membudidaya di kalangan anak-anak Indonesia. Apakah ini baik? Simpan saja dalam pikiran kalian sambil melihat keadaan Indonesia sekarang dan yang akan datang. 

Oke, balik lagi ke industri strategis yang dimiliki Indonesia. Saya selalu menekankan pilihan kata "dimiliki Indonesia" ketimbang "di Indonesia"karena kita harus berbangga memiliki industri semacam itu di bumi pertiwi ini. Ada suatu artikel dari satu media elektronik yang memberitakan penggunaan pesawat buatan Indonesia oleh beberapa Kepala Negara negara asing. Lalu di akhir dari artikel tersebut menlontarkan pertanyaan sederhana yakni "lantas, bagaimana dengan Indonesia?". Tapi semua itu urusan pemerintah dan Kepala Negara kita, antara mendukung penggunaan produksi dalam negeri dan mengurangi barang impor seperti yang digembor-gemborkan dalam tiap pidatonya. Sebagai pemimpin, setiap perbuatan yang dieksekusi akan berimbas ke masyarakat sebagai suatu sistem organisasi. Semoga saja di kemudia hari Presiden Indonesia ada yang menggantikan Air Force One merk Boeing dengan Pesawat buatan sendiri yang lebih pantas dengan kondisi geografis Indonesia (khususnya bila hendak bepergian dalam negeri). 

Jadi, tulisan ini bukan sebagai penyita perhatian masyarakat atau muda mudi sekalian, tapi sekedar sebagai buah pikiran yang tidak bisa didiamkan dalam pikiran saya. Melihat kejayaan PT Pindad di bawah pimpinan Silmy Karim yang saat ini sedang meraih keemasannya dan publikasinya yang begitu apik di mata media dan masyarakat, mendorong saya untuk mengajak kalian-kalian yang masih punya keinginan untuk memajukan bangsa di sketor industri strategis (kalau yang ga punya ya terserah kalian). Secara psikologis, banyak yang masih memendam pikiran skeptis dan malu untuk mengkontribusikan otaknya di industri ini dengan berbagai alasan (selain alasan yang disebut dalam paragraf sebelumnya e.g. sejarah kelam). Sebut saja PRIDE, PRESTIGE, dan KEKAYAAN. Menurut saya, masih jamankah kita sebagai penerus bangsa mengedepankan tiga hal itu? Ujung-ujungnya jadi tukang korupsi kok (ga jamin juga ya, tapi mostly seperti itu). Coba saja ditarik logikanya bila kita menggabungkan tiga kata diatas pasti sama dengan  (=) KORUPSI. Tapi bila kita memiliki motivasi untuk memajukan terus industri yang sedang mengembalikan keemasannya di Indonesia ini demi kepentingan strategis dan kepentingan nasional Indonesia, maka semua tiga kata itu akan datang dengan sendirinya. Ayo coba kita praktekkan!




Salam Pancasila dan Labapaca (Buku Pesta Cinta)

(the essay above are writers' own expressions, no plagiarism!)




ASEAN Community 2025: Moving forward to obtain an Integrated Economical Region by : Cynthia Sipahutar


ASEAN integration is once again being challenged due to its preparedness in achieving the goals of ASEAN Community 2015. Elite sectors of each member-states are dealing with several of challenges to attain the next year’ program and begin to reaffirm and rebuild the clauses from each pillars for the upcoming plan by post 2015 until year 2025. International community started to realize and become fully aware of the emerging market that have grown in the Southeast Asia region. Economic sector and its developing market have grown in a larger scale and its role become significantly important for the global market resilience. Since ASEAN established in 6 August 1967 with the birth of Bangkok Declaration, this regional association promised to build a united and integrated region where single market approach and non-tariff barrier will be compromise among the AMCs (ASEAN Member Countries) for long-term implementation. ASEAN Economic Community 2015 was formed in order to boost and embrace economic stability and prosperity among ASEAN citizens.

The ASEAN Economic Community blueprint stated four (4) strategic and specified actions in order to wide-spreading the achievement to each of the AMCs economic aspects, namely (i) Single Market and Production Base; (ii) Competitive Economic Region; (iii) Equitable Economic Development; and (iv) Integration into the Global Economy. Obstacles and challenges that ASEAN fear the most are the application and compliance among national department in each state. ASEAN countries obviously consist of variety and diversify backgrounds when it comes to economic sector. Singapore, Malaysia, and Brunei are the three countries that developed well enough compare to other AMCs in the region and should easily adapt with the ongoing growth towards ASEAN Economic Community. However, the stumbling blocks begins when reaching the points of realizing financial services liberalization, capital account liberalization, capital market developments, and payment settlement systems within AMCs’ national financial and market system. The fact where ASEAN also consist of under-developing and developing countries such as the LCMV countries and Indonesia, Thailand, and the Philippines is the most basic argument and reason ASEAN should rebuild and re-plan a detailed proposal without eliminating essences of AEC 2015 final purposes.

In forming economic sustainable development within ASEAN circular and as well as defending the resilience of global market, AMCs leaders envision to create schedules and programs to support the continuance of AEC blueprint without depleting the fundamental essence of its purposes and goals. To develop the AEC’s post-2015 vision in which it scheduled by the end of 2025, AEC bring a 10-year framework consist of five interconnected and mutually based on the 2008 created AEC blueprint into existence. The five proposed pillars and elements of AEC 20125 are: (a) An Integrated and Highly Cohesive Economy; (b) Competitive, Innovative and Dynamic ASEAN; (c) Resilient, Inclusive, People-Oriented and People-Centered ASEAN; (d) Enhanced Sectorial Integration and Cooperation; and (e) Global ASEAN.

It has been awarded that ASEAN integration on trade related movement into a single-market community and implementation of non-trade barriers nearly accomplished and shifting into a new whole level of integration. Nevertheless, several of points in this pillar are necessary to be re-affirmed and re-focus back again to complete the challenging agenda within the post-2015 proposal program. Some of the key elements that urgently required to finished are: financial services liberalization and capital market development and integration, financial inclusion, and taxation issues.

As one of the key actor in administering the financial liberalization and either developing or integrating capital account market in the region, Bank Indonesia (Indonesia’s central bank) has the mandate to supervise consumer-banking service and insurance services both in city and district area. AMCs including Indonesia’s banking system services must bear into its mind that by improvising and strengthening each of the national bank in the country is a priority to build a cohesive competition in the region. By doing so, countries with indifference capability are without any doubt able to increase developing conditions in financial liberalization and capital account market without being anxious about economic gap and competency diversity within the AMCs circle.

Thus, the priorities for financial services and integration post-2015 will be including the financial stability infrastructure by emending regulations among AMCs, supporting capacity building and technical assistance especially for the developing, under-developing countries and as well as newer member states (e.g. Timor Leste issued to join), financial inclusion and literacy initiatives to enlarge amount of capable investors and its issuer base that have not been touched by economic dispute settlement in ASEAN, intensifying macroeconomic surveillance within ASEAN and ASEAN+3 relations and holding an intensive and educational studies related to form economic integration in regional area with an additional information for countries who need special preparedness in order to eliminate cultural shock and economic instability due to the financial liberalization.

The principle of non-trade barriers including the application of minimum tariffs is indeed an urgent discussion among member states in ASEAN. The clause from the previous 2015 blueprint demanded the completion of bilateral agreement to avoid such double taxation tariffs that might occur among AMCS. The proposed program for post-2015 should be re-negotiating more further to produces a cohesive, legally binding and shows greater technical commonality on tariffs treaties. In addition, AMCs is highly advised to treat every ASEAN member states (including newer member or under-developing member states) with the absence of discriminatory behavior.

Due to the evolving of time and a constant change of financial environment in ASEAN, providing high-access of formal financial system to support the creation of impartial economic advancement is being put forward for consideration in the 2025 program. Within this program, local government with the support from its specified department is required to make adequate facilitation such as education transfer on financial knowledge and information (e.g. the importance of savings and its benefits). Since financial inclusion have never been discussed further in the AEC 2015 blueprint and by fulfilling the elimination of economic gap among the regional countries, the ASEAN Finance Ministers endorsed a conference held specifically to discuss intensely about the realization of financial inclusion and financial literacy among ASEAN countries. With the ongoing process of negotiation and talks, ASEAN countries, such as Myanmar and Viet Nam, demonstrate its best performance on economic sector (with growth of 7.8% and predicted to continue next year). It happened simultaneously with the implementation of free-flow market by the two countries where investors are become more likely to investing its stock market.

The global market community such as the European Union (one of the largest and oldest regional organization in the world) appreciates outstanding performance by ASEAN countries in attaining its developing economic integration and consolidation whereas EU itself started to decline caused by its political turbulence in East Europe and financial debt crises in Greece and Spain. Without any doubt, ASEAN could turn out into the next key player for defending the global market resilience and main partner/negotiator in most of international economic forums. Long story short, with the firm grip of ASEAN Charter and its pillars (ASEAN Economic Community blueprint, particularly for economic aspect) ASEAN member states are inevitably to achieve its longing aspiration, the actual ASEAN Community. 

Indonesia’s Education Mechanism (Nowadays) : Are Disabled and Autistic Pupils Satisfied Enough? Between Discrimination, Accreditation, and the School’s Prestige


Indonesia’s Education Mechanism (Nowadays) :
Are Disabled and Autistic Pupils Satisfied Enough?
Between Discrimination, Accreditation, and the School’s Prestige


Do we need to appreciate the government if they are closing their eyes intentionally with the situation among disabled and autistic pupils? Meanwhile society and officials are still arguing for decades on curriculum and education system that only could be adjusted or implemented by normal pupils? When the current government administration established their cabinets and figured out that Mr. Anies Baswedan is the new Minister of Base Education, the hope for families of autistic and disabled person arise (yet, we are still ordered to look forward for some time). For more than 50% of the population are inhabited by disabled and autistic human beings. I believe they are normal human beings who were also born from women’s womb, in other way, what they only need is special attention and effort from education officials and experts to boost up the system of our national education.
Here are several key points that I’ve had tried on figuring the obstacles and barriers of disabled and autistic pupils in Indonesia on getting proper school and on attaining their knowledge. Before we get there, I as a freedom writer expresses these opinions based on my own experience and observation since I have an autistic little brother. Although I’m neither an expert nor psychiatrist/psychology, I often monitor nearly whole of the environment that has surrounded our family and my brother’s personal being. These thoughts are mine and my own only.

1.      The Lack of Seriousness from Indonesian Education Officials (Government and Boards of School): Setting Aside Habits
Saya lanjutkan pakai bahasa indonesia aja ya, supaya gampang dicerna oleh para orang tua Indonesia secara keseluruhan. Jadi, dalam bagian ini saya melihat bahwa pemerintah Indonesia dan sekolah sekolah pada umumnya belum fokus dan serius dalam memasukkan program INKLUSI terhadap anak-anak yang tergolong autis maupun ADHD. Percuma saja jika sekolah tersebut memiliki segudang prestasi apabila masih belum memiliki program khusus yang biasanya disebut dengan INKLUSI. Bila kita perhatikan dan bandingkan dengan sekolah-sekolah di negara maju, pada dasarnya mereka telah memprioritaskan anak-anak spesial tersebut agar mendapatkan pendidikan yang sama layaknya anak-anak pada umumnya. Bahkan, negara-negara maju seperti Jerman, Inggris, Amerika Serikat, dan Singapura membebaskan biaya bagi seluruh orang tua atau keluarga yang memiliki anak-anak terdiagnosa autis/ADHD. Itulah salah satu contoh dimana pemerintahan negara-negara maju sangat "advance" dan berfikir "forward" bagi kemajuan pendidikan anak-anak bangsanya. 
Indonesia, khususnya sekolah-sekolah, sangat perlu mengaplikasikan program Inklusi agar anak-anak autis/ADHD dapat mengakseskan diri ke pengetahuan yang tidak diskriminatif. Pengaruh dan dampak bilamana sekolah-sekolah Indonesia menerapkan program ini akan sangat signifikan karena dengan begitu, kualitas pendidikan Indonesia pun akan dianggap maju dan tidak berpandangan ke belakang. DI zaman yang semakin moderen dan berteknologi tinggi seperti sekarang ini sudah tidak lagi hanya mengutamakan prestise, akreditasi dan ranking sekolah. Tapi yang diutamakan adalah kesamarataan bagi seluruh anak-anak, tak terkecuali anak-anak autis/ADHD. Sudah saatnya pendidikan di Indonesia menghapus diskriminasi dan sistem "pilih-pilih" anak normal dan abnormal. Mereka semua pada umumnya sama dan hanya membutuhkan tenaga yang lebih maksimal. Sudah saatnya Indonesia meninggalkan perdebatan yang hanya mendiskusikan tentang kurikulum biasa dan berganti arah pada sistem pendidikan yang merata tanpa adanya diskriminasi. 


2.      The Peculiar (Odd) Gaze from the Society and Its Environment toward the Pupils


3.      Money Business (As Usual): Expensive Cost is indirectly classified as DISCRIMINATION !!!!


4.      The Lack of Proficient Guru/Teacher


5.      [Parental Guidance] is Urgently Required


P.S. To all parents who need some information regarding schools and institution for autistic children, I have several of list for you to discover. I hope it will be beneficial for both parents and your children. 

1. SD Kristen Dian Emas, Bandung, West Java
2. TK Cerdas Mandiri, Bandung West Java
3. TK,SD,SMP Mutiara Bunda, Bandung, West Java
4. AGCA Center in Surabaya (Head Office), Jakarta, and Bandung












Indonesia dalam Mengelola Eksistensi dan Potensi Kebaharian dan Pulau-Pulau Terluar dalam Rangka Menyongsong ASEAN Economic Community 2015


Indonesia dalam Mengelola Eksistensi dan Potensi Kebaharian dan Pulau-Pulau Terluar dalam Rangka Menyongsong ASEAN Economic Community 2015


Abstract
Indonesia has known to be a great maritime power since our ancestors lived by narrowing the raft and traditional boat seeking for food and avoiding hunger. Until these present days, Indonesia became the only tremendous archipelagic country, which contains hundreds of thousands of habitants and inhabitants islands and also underneath it lays huge amount of fisheries and natural resources. From the fact being the great country in the region, it is the nation's duty and obligation to pursue ASEAN as the region’s organization in transforming into One Vision and One Identity of Southeast Asia. Therefore, being able to perform with its maritime capability in the region would lift up one of the three pillars of ASEAN, which is ASEAN Economic Community 2015. A country with its maritime potentials and competencies will define its economic performance for being excellent and advance in creating wealth among its people. However, Indonesia is still struggling with the barriers of several obstacles facing the huge country such as the increasing number of asylum seekers, rapid growth of people smuggling, illegal fishing damaging local fisherman, and the wild exploitation shattering oceanic ecosystem. Governments, military, and micro institution are the key actors to eliminate the hazardous situation happening within Indonesia’s maritime environment. In fact, not only the political elite that must taken a good care of it but ordinary people are also the main actor who could drive Indonesia’s maritime richness to become well safeguarded and more well-produced. Regardless, we as Indonesian citizen are able to improving its internal economic by digging its maritime potentials in order to support the establishment of ASEAN Economic Community 2015. Within this essay, the writer identifies several of facts and truth about Indonesia’s main barriers and outstanding facts about Indonesia’s maritime capacity and its advantages to create one of the three pillars of ASEAN, ASEAN Economic Community 2015.


Ir. Soekarno berkata: “JAS MERAH” (jangan sekali-sekali melupakan sejarah). Ingat, pada masa lalu Nusantara pernah menjadi bangsa yang besar dan jaya karena berkiblat ke laut. Kekuatan yang ada di laut itulah jati diri bangsa. Kita satu per satu, seorang demi seorang harus mengetahui bahwa Indonesia, ia tidak bisa menjadi kuat, sentosa dan sejahtera, jikalau kita tidak menguasai Samudera, jikalau kita tidak kembali menjadi bangsa Samudera, jikalau kita tidak kembali menjadi bangsa bahari, bangsa pelaut sebagai kita kenal pada zaman bahari. 

Bangsa Indonesia telah lama dikenal sebagai bangsa yang memiliki kekayaan luar biasa dalam hal jumlah dan kuantitas pulau-pulaunya. Bangsa ini memiliki pulau sebanyak 17.508 sehingga fakta tersebut membuktikan bahwa Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Jika negara ini diklasifikasi sebagai negara kepulauan, maka hampir dari 2/3 wilayahnya terdiri dari lautan. Dari sebelah barat sampai dengan timur Indonesia, tidak ada satu wilayah pun yang tidak dibatasi dengan pantai maupun perairan. Tidaklah heran bahwa kita kerap kali mengetahui mayoritas profesi penduduk Indonesia menjadi nelayan. Jutaan ikan dan hasil-hasil lautan lainnya dikeruh untuk kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, bahkan di masa ini, hasil-hasil lautan tersebut diimpor ke pasar luar negeri. Kenyataan letak Indonesia yang dikelilingi oleh perairan, tidaklah dipungkiri bahwa Indonesia juga dikenal dengan sebutan negara maritim. Letak geografis Indonesia yang diapit oleh dua samudera, Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan terletak diantara benua Asia dan Australia menjadikan Indonesia sebagai negara yang “seksi” di mata dunia.
Realita yang dimiliki Indonesia sebagai negara maritim yang memiliki lautan luas dan jumlah kepulauan yang tiada bandingnya dengan negara-negara lain di dunia merupakan manfaat positif bagi bangsa yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 ini. Namun, bukanlah hal yang mudah untuk mengelola luas wilayah teritorial Indonesia, khususnya wilayah perairan. Mengukur wilayah perairan Indonesia tidaklah mudah karena letak Indonesia yang diapit oleh banyak negara tetangga. Saat ini, Indonesia memilik 10 titik perbatasan yang terdiri dari daratan maupun lautan. Kesepuluh titik perbatasan tersebut menjadi tugas penting bagi pemerintah Indonesia serta masyarakat yang mendudukinya. Dalam mengelola perbatasan maritim termasuk pulau-pulau terluar, diperlukan konsep effectivites atas effective occupation sesuai prinsip yang diatur dalam hukum internasional. Kita menyadari betul bahwa Indonesia merupakan negara yang tergolong ke dalam negara berkembang (developing countries) dimana pendapatan perkapitanya masih sekitar $4000. Tetapi, ingatlah bahwa menjadi negara yang masih berkembang bukan berarti tidak dapat maju. Negara berkembang akan terus berkembang hingga seluruh kepentingan nasionalnya tercapai sesuai dengan perkembangan zaman dan tetap berjuang mempertahankan seluruh aset-aset nasional yang sudah ada.
Tidak dipungkiri bahwa isu perbatasan menjadi salah satu kebijakan luar negeri Indonesia yang cukup diperhatikan dan diprioritaskan. Hal ini disebabkan oleh perbatasan menyangkut keselamatan dan keeksistensian suatu negara yang berdaulat. Apabila masalah ini tidak dapat dikendalikan dengan tegas dan efektif, maka wilayah Indonesia sewaktu-waktu dapat “tererosi” jumlahnya. Indonesia pernah mengalami kepahitan dalam merebut pulau-pulau terluar yaitu pada kasus sengketa Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia tahun 2002 yang diakhiri dengan kegagalan dalam proses litigasi (hukum). Melalui peristiwa tersebut, bangsa ini mengalami pukulan keras hingga pengelolaan terhadap pulau-pulau terluar Indonesia dikaji ulang dan diperhatikan dengan maksimal serta dengan efektif. Pengelolaan perbatasan maritim tidaklah semudah yang dipikirkan karena mengingat wilayah perbatasan maritim Indonesia tidak terjangkau dari perhatian pemerintah pusat yang berada di Pulau Jawa. Strategi pengelolaan perbatasan maritim hendaknya dilaksanakan dengan berpegang teguh pada konsep Wawasan Nusantara yang ditinjau dari segi geopolitik dan geostrategis. Seperti yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH bahwa dengan berpedoman pada wawasan nusantara Indonesia memperoleh beberapa manfaat diantaranya; Pertama, Indonesia yang menyatakan sebagai negara nusantara (Deklarasi Djuanda 1957) diperkenankan menarik garis dasar yang menghubungkan titik-titik terluar dari pulau-pulau terluar Indonesia sehingga kesatuan dan keutuhan wilayah Indonesia dari darat, laut maupun udara terjamin secara internasional (UNCLOS 1982). Kedua, melalui wawasan nusantara yang telah diakui secara konstitusional internasional, maka perairan Indonesia termasuk kekayaan sumber dayanya yang terkandung dalam tanah dibawahnya, serta ruang udara yang berada di atasnya menjadi hak sekaligus kewajiban Indonesia untuk mengatur, mengelola serta mengembangkan dari fakta tersebut. Tidak hanya itu, luas perairan Indonesia yang berasal dari dua juta km2 meluas hingga delapan juta km2 akibat penggunaan konsep Wawasan Nusantara, ZEE dan Landas Kontinen yang telah diratifikasi dan diakui secara internasional (UNCLOS 1982). Ketiga, setelah diaturnya jalan lalu lintas pesawat dan kapal asing yang telah diatur dan disepakati bersama dalam Konvensi Hukum Laut 1982 melalui sea lanes passage, maka perairan Indonesia menjadi salah satu unsur perdamaian sekaligus pengembangan kerja sama bagi mereka yang melintasi perairan Indonesia. Terakhir atau keempat, dahulu kita mengenal perairan Asia Tenggara sebagai ajang konflik dan peraduan senjata yang hebat namun seiring dengan peraturan-peraturan mairitim dan penerapan konsep wawasan nusantara dengan Innocent Passage-nya, menandakan bahwa Indonesia telah merancang zona perdamaian dan kerja sama dalam perairan nusantaranya.
Melalui Wawasan Nusantara sebagai pedoman perlindungan dan pertahanan maritim Indonesia, kita telah membentuk zona perdamaian dan kerja sama dengan negara-negara di dunia khususnya negara tetangga disekelilingnya. Menghadapi ASEAN Community 2015, tentunya Indonesia sebagai salah satu pioneer dari terbentuknya ASEAN pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok sangatlah eager dan semangat untuk menyongsong keberhasilan dan terwujudnya komunitas tersebut. Namun patut diakui bahwa mewujudkan adanya United ASEAN atau “Kesatuan ASEAN” bukanlah tugas yang mudah bagi Indonesia beserta negara-negara anggota ASEAN lainnya. Perlu sinergitas dan integrasi dari masing-masing negara dan bukan hanya dari para pimpinan negaranya saja (political elite) tetapi yang terpenting adalah gerakan dan willingness yang datang dari masyarakatnya masing-masing. ASEAN mengemukakan tiga pilar dan salah satunya adalah ASEAN Economic Community 2015 sebagai pilar yang berfungsi untuk memajukan kerja sama di bidang ekonomi untuk menjamin kesejahteraan masyarakat ASEAN. Salah satu bentuk aksi yang dibangun menurut ASEAN Economic Community Blueprint adalah pengembangan infrastruktur di masing-masing sektor khususnya di bidang transportasi. Kita menyadari betul bahwa di zaman yang semakin meng-global dan borderless ini, perdagangan bebas sangat dibutuhkan demi mencukupi dan memenuhi kebutuhan hidup masing-masing. Dalam hal ini, ASEAN sepakat untuk mewujudkan kawasan yang bersifat Free Trade Area demi kemudahan alur berdagang dan bersama-sama menghilangkan gap ekonomi antar negara ASEAN.  Indonesia menjadi salah satu tulang punggung sekaligus pemain utama dalam mewujudkan kebijakan-kebijakan ASEAN Economic Community 2015. Fakta-fakta strategis membuktikan bahwa letak Indonesia yang dominan di Asia Tenggara memiliki peran penting untuk menyongsong ASEAN Economic Community 2015. Keterlibatan Indonesia untuk bekerja sama dalam bidang maritim sangatlah krusial mengingat wilayah perairan kita yang menjadi jalur perdagangan kapal-kapal laut maupun pesawat kargo asing tersibuk di dunia terletak di wilayah perairan ini. Untuk itu, pemerintah Indonesia memerlukan tindakan kooperatif yang efektif dengan instansi-instansi lainnya demi menjaga dan mewujudkan wilayah maritim yang kuat dan bermanfaat secara ekonomis serta eco-friendly demi menciptakan Komunitas Ekonomi ASEAN 2015.
Menjadi bangsa yang dikenal sebagai negara maritim memiliki potensi yang besar dalam mengembangkan sistem perekonomiannya. Melalui sumber daya laut yang tak terhitung harganya menjadi peluang Indonesia untuk melestarikan dan mengembangkan ekosistem kelautannya. Sesungguhya, hal inilah yang menjadi tantangan sekaligus kesempatan bagi Indonesia untuk berperan aktif sebagai salah satu negara maritim di ASEAN yang mampu mendorong terciptanya ASEAN Economic Community 2015. Tantangan yang dihadapi Indonesia sebagai negara kepulauan dimana laut menjadi sumber ekonomi bangsa, ruang juang hidup dan media pemersatu bangsa diantaranya penjagaan dan pertahanan wilayah teritorial maritim termasuk di lautan kontinental serta di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) yang rawan dengan tindakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Tentunya tantangan tersebut menjadi tugas berat untuk pemerintah serta instansi-instansi lainnya yang terkait dengan penjagaan wilayah maritim kita yang kaya akan sumber dayanya. Hendaknya setiap komponen dari pengamanan wilayah maritim dikelola secara efektif dan profesional. Bukan hanya tugas pemerintah tetapi wilayah maritim adalah kewajiban seluruh masyarakat termasuk nelayan dan penduduk di sekitar pantai. TNI-AL juga menjadi ujung tombak dari kekuatan maritim Indonesia supaya tidak ada “tangan-tangan jahil” yang berani mengganggu lautan kita. Sesuai dengan teori neo-realisme, suatu negara memerlukan kekuatan deterrence setidaknya untuk men-deter negara-negara lain agar dapat berpikir seribu kali untuk menggoyahkan kedaulatan negara. Saat ini TNI-AL memiliki dua armada angkatan laut utama di Indonesia yang ditempatkan di Jakarta (Armada barat) dan di Surabaya (Armada timur). Sementara itu, Bumi Pertiwi Indonesia memiliki luas wilayah sebesar 7.7 juta Km2 yang terdiri dari lautan sekitar 5.8 juta Km2 (75.3 %) dan daratan sekitar 1.9 juta Km2 (24.7 %). Berdasarkan luas wilayah tersebut, jumlah kekuatan armada angkatan laut Indonesia tidaklah sebanding dengan luas wilayah Indonesia sehingga belum dapat dikatakan maksimal dalam menjaga dan mempertahankan kekuatan maritim bangsa ini. Sekurang-kurangnya dibutuhkan satu lagi armada angkatan laut Indonesia sesuai dengan pembagian wilayah Indonesia yang terdiri dari Indonesia Bagian Barat, Indonesia Bagian Tengah, dan Indonesia Bagian Timur. Begitu juga dengan memaksimalkan pangkalan-pangkalan utama angkatan laut dan udara Indonesia (LANTAMAL dan LANUDAL) yang diperlukan untuk kegiatan patroli dan pengawasan di sekitar perairan Indonesia yang rawan dengan kasus asylum seekers. people smuggling, pembajakan kapal, illegal fishing, dan eksplorasi sumber daya alam liar.
Tantangan sebagai negara maritim di ASEAN patut disadari, namun Indonesia memperoleh banyak manfaat dari status tersebut. Ada baiknya gagasan yang dicetuskan oleh Gubernur Kepulauan Riau Ismeth Abdullah dimana beliau membangun ekonomi maritim di daerah kepulauannya. Kita mengenal Kepulauan Riau sebagai wilayah yang terdiri dari pulau-pulau kecil (berpenghuni dan tak berpenghuni) serta menghasilkan minyak sebanyak jutaan per barellnya. Tidak hanya itu, wilayah Kepulauan Riau sangatlah terkenal dengan ikan-ikan laut yang diperoleh dari perairan kepulauan tersebut sehingga mampu menghidupkan ribuan nelayan. Namun, tidak dipungkiri juga bahwa sumber bahari Indonesia kerap mengalami kecolongan sehingga merugikan negara sampai miliaran rupiah. Untuk mengatasi hal tersebut, Gubernur Ismeth Abdullah menggagaskan pengembangan konsep ekonomi maritim dimana infrastruktur kota-kota di daerah pantai perlu diwujudkan demi kemajuan sektor pariwisata yang dapat memperoleh banyak keuntungan ekonomis. Begitu juga dengan pembangunan kapal untuk transportasi serta penangkapan ikan (legal) yang memadai serta  keselamatan para nelayan ikut terjamin. Melalui gagasan-gagasan yang mengutamakan kelayakan dan pembangunan infrastruktur di pulau-pulau terluar seperti di Kepulauan Riau, hal tersebut dapat mengundang investor-investor lokal maupun internasional untuk membuka bisnisnya di wilayah tersebut. Melalui pembangunan dan pengembangan pulau-pulau terpencil seperti di Pulau Natuna, Pulau Bintan, dan Pulau Karimun akan membantu Indonesia untuk mendorong kesejahteraan masyarakatnya serta membantu melestarikan perairan yang mengelilingi pulau-pulau tersebut agar tidak “hilang” dari wilayah kedaulatan. Pembangunan infrastruktur juga menandakan bahwa Indonesia berupaya keras dalam menyongsong terwujudnya ASEAN Economic Community 2015 dengan membuka peluang-peluang bagi investor asing untuk membuka usaha pariwisatanya.
Sebagai kesimpulan, kehadiran Indonesia sebagai bangsa maritim terbesar di kawasan Asia Tenggara memberikan nilai plus untuk organisasi regional ASEAN. Bagaimana tidak? Hampir seluruh perairan Asia Tenggara berada di wilayah bangsa ini dan didalamnya terdapat sumber daya alam yang tak terhitung nilainya sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara kaya akan sumber daya alam sehingga diperebutkan oleh banyak negara-negara besar seperti Amerika Serikat, RRC, dan Australia. Untuk mewujudkan ASEAN Economic Community 2015, Indonesia perlu bersinergi dengan negara-negara ASEAN lainnya untuk mengamankan potensi laut Indonesia agar tidak “terkikis” oleh kelompok-kelompok tak bertanggung jawab. Sebagai masyarakat Indonesia, perlu diingatkan dan diterapkan kembali konsep Wawasan Nusantara sebagai pemersatu Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Karena tanpa dicetuskannya Wawasan Nusantara sejak pendeklarasian “sepihak” oleh Indonesia pada tahun 1957 dan pada akhirnya diakui sebagai negara kepulauan secara internasional (UNCLOS 1982), Indonesia tidak dapat bertahan sebagai archipelagic countries yang terbesar di dunia. Kalaupun Indonesia terdiri dari berbagai pulau besar dan kecil, perairannya mungkin saja tidak dapat dijadikan wilayah kedaulatan Indonesia tanpa adanya konsep tersebut. Kita sebagai warga negara Indonesia patut berbangga diri dan bersyukur memiliki ekosistem laut dan dunia bahari yang begitu kaya dan indah. Daripada itu jua, warga negara Indonesia yang baik perlu menjadi warga ASEAN yang turut berperan aktif dalam mencipatkan ASEAN Community 2015. Kita patut menunjukkan kawasan Asia Tenggara sebagai regional yang sangat berpengaruh terhadap kemajuan dan ketahanan global. Wujud Indonesia dalam kontribusinya yaitu dengan menggali potensi kemaritiman dan pulau-pulau terluarnya sebagai aset untuk memajukan ekonomi kawasan serta bersama-sama dengan anggota ASEAN lainnya memberantas tindakan-tindakan “nakal” yang dapat merusak ekosistem laut dan merugikan setiap negara. Mari, kita bangun dan pertahankan kekuatan maritim Indonesia dalam rangka menyongsong ASEAN Economic Community 2015!








Daftar Pustaka

ASEAN Economic Community Blueprint., ASEAN Secretariat., Jakarta., January 2008

Dam Syamsumar., Kepentingan Ekonomi Politik Indonesia di Perairan Natuna., “Politik Kelautan”., Bumi Aksara., Jakarta., 2010

Dam Syamsumar., Politik Kelautan di Kawasan Asia Pasifik., “Politik Kelautan”., Bumi Aksara., Jakarta., 2010

Pendapatan Perkapita RI Kini Mencapai 4.000 Dollar AS diakses melalui http://www.tribunnews.com/bisnis/2014/02/13/pendapatan-perkapita-ri-kini-mencapai-4000-dollar-as

Prof. Dr. Kusumaatmadja, Mochtar., Wawasan Nusantara dari Segi Geopolitik dan Geostrategis., “Strategi Kelautan: Pengembangan Kelautan dalam Perspektif Pembangunan Nasional”., Pustaka Sinar Harapan., Jakarta., 1988

Prof. Dr. Ir. Rompas Rizald Max, Dr. Ir. Hanggono Aryo, dan Ir. Wagey Gabriel Antonius, M.Sc, PhD., Mengapa Laut Penting Diurus oleh Negara?., “Tingkap Langit Taburi Laut Nusantara: Suatu Kekuatan Ekonomi dan Ketahanan Bangsa”., Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan., Jakarta., 2013

Rais Jacub., Berapa Jumlah Pulau di Indonesia.,”Pandang Wilayah Perbatasan Indonesia”., Pusat Pemetaan Batas Wilayah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional., 2004

Starke. J.G.,  Kedaulatan Teritorial Negara dan Hak-Hak Teritorial Lainnya yang Lebih Kecil yang Dimiliki oleh Negara., “Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh”., Sinar Grafika., 2010





TNI MODERNISATION SHOULD ENCOMPASS AN EFFECTIVE OFFSET POLICY (Published for The Jakarta Post, September 16th 2021)

Since his appointment, Indonesian Minister of Defence, Prabowo Subianto, claimed that one of his most crucial priorities was to continue the...